William Wilberforce
William Wilberforce lahir pada 24 Agustus 1759, di Kingston upon Hull, Inggris, dalam keluarga kaya. Ayahnya, Robert Wilberforce, adalah seorang pedagang sukses, sementara ibunya, Elizabeth, berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh sosial. Wilberforce menerima pendidikan awal di sekolah lokal dan kemudian melanjutkan studi di St John's College, Cambridge, di mana ia belajar dengan tekun dan membentuk dasar-dasar intelektual yang kuat. Setelah menyelesaikan studinya, ia terpilih sebagai anggota parlemen Inggris pada usia 21 tahun.
Pada awalnya, Wilberforce menjalani karir politik yang konvensional, fokus pada masalah-masalah ekonomi dan sosial pada zamannya. Namun, pada pertengahan 1780-an, Wilberforce mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Pada tahun 1785, ia mengalami konversi agama yang mendalam setelah berbicara dengan seorang teman dekatnya, John Newton, yang sebelumnya adalah seorang pelaut dan pedagang budak, namun kemudian menjadi perideta yang sangat menentang perbudakan. Wilberforce mulai memahami panggilan moral dan Kristen untuk melawan perbudakan, yang saat itu merupakan praktek yang meluas di seluruh dunia Barat, termasuk di Inggris.
Sebagaianggota parlemen, Wilberforce merasa terdorong untuk mengubah hukum yang mendukung perdagangan budak dan perbudakan itu sendiri. Meskipun banyak di antara rekan-rekan politiknya melihat perbudakan sebagai hal yang tidak dapat diubah, Wilberforce terus berjuang dengan keyakinan bahwa Tuhan memanggilnya untuk memperjuangkan kebebasan bagi mereka yang tertindas. Salah satu kutipan terkenalnya adalah, "Saya percaya bahwa Tuhan telah memanggil saya untuk melakukan ini."
Wilberforce tidak bekerja sendirian dalam perjuangannya. la membentuk sebuah kelompok yang disebut "Kawan-kawan Anti-Perbudakan" yang terdiri dari sejumlah tokoh penting, termasuk Thomas Clarkson, Granville Sharp, dan James Stephen. Mereka melakukan riset, mengumpulkan bukti tentang penderitaan para budak, dan meluncurkan kampanye untuk mengungkapkan kengerian perbudakan kepada publik Inggris.
Wilberforce menghadapi banyak tantangan dalam perjuangannya la sering kali menghadapi perlawanan dar banyak anggota parlemen yang menganggap perbudak sebagai bagian dari ekonomi mereka yang menguntungko Selain itu, ada banyak orang yang berusaha menghalang upayanya dengan menekan melalui tekanan politik da ekonomi. Namun, meskipun menghadapi banyak hambatan Wilberforce tetap teguh dalam misinya, la tidak hanya berusaha untuk menghentikan perdagangan budak tetapi juga berkomitmen untuk menghapuskan perbudakan di seluruh dunia.
Perjuangan Wilberforce berlangsung selama hampir dua pulut tahun. Pada tahun 1791, ia untuk pertama kalinya mengajukan sebuah rancangan undang-undang yang akan melarang perdagangan budak di Inggris. Meskipun ia mendapatkan dukungan dari banyak kalangan, usulannya ditolak. Namun, Ia terus mengajukan undang-undang serupa selama bertahun-tahun, dan semakin banyak masyarakat yang sadar akan ketidakadilan perbudakan berkat kampanye keras yang la pimpin.
Akhirnya, pada tahun 1807, setelah lebih dari 20 tahun berjuang, kemenangan besar akhirnya tercapai. Parlemen Inggris mengesahkan Act for the Abolition of the Slave Trade, yang secara resmi melarang perdagangan budak di wilayah Kekaisaran Inggris. Meskipun ini adalah kemenangan besar Wilberforce tahu bahwa perjuangannya belum selesai, la terus bekerja untuk menghapuskan perbudakan itu sendiri di seluruh koloni Inggris, sebuah perjuangan yang ia lanjutkan hingga akhir hayatnya.
Wilberforce akhirnya melihat buah dari perjuangannya pada tahun 1833, ketika pemerintah Inggris mengesahkan Slavery Abolition Act, yang secara efektif menghapuskan perbudakan di seluruh kekaisaran Inggris. Namun, Wilberforce tidak sempat merayakan kemenangan ini. la meninggal pada 29 Juli 1833, hanya tiga hari setelah mendengar bahwa undang-undang tersebut telah disahkan. Ia meninggalkan warisan besar sebagai tokoh yang mengubah dunia melalui keberanian moral dan komitmennya untuk melawan ketidakadilan.
William Wilberforce adalah contoh dari seorang Kristen yang hidup dengan penuh dedikasi terhadap ajaran-ajaran iman yang mengutamakan kasih, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Keberanian dan keteguhannya dalam menghapus perbudakan mencerminkan nilai-nilai kekristenan yang mengutamakan pembebasan bagi mereka yang tertindas. Warisannya tidak hanya dikenang di Inggris, tetapi juga di seluruh dunia sebagai pahlawan kemanusiaan yang berjuang untuk mengakhiri ketidakadilan.
Sumber: OBOR Edisi Maret 2025, Halaman 2–5, Komisi Pelayanan Pemuda Sinode GMIM
Comments
Post a Comment