Sang Pahlawan Tampan - Pierre A. Tendean

 Penulis: Bodewyn Grey Talumewo

    Pahlawan Nasional Indonesia paling tampan. Itulah stigma yang melekat pada diri Almarhum Kapten CZI (Anumerta) Pierre Andries Tendean asal Minahasa. Ia adalah Pahlawan Revolusi, yang gugur saat terjadinya Pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Ia adalah Ajudan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) Jenderal TNI A. H. Nasution. Sebagai ajudan, ia sering mendampingi Jenderal Nasution dalam berbagai kegiatan. Sebenarnya ada lagi pahlawan yang juga berasal dari Minahasa, yaitu Mayor Daan Mogot. Namun, Daan Mogot masih dalam proses pengajuan sebagai Pahlawan Indonesia.

    Pierre Andries Tendean, lahir dari ayah dokter spesialis ilmu jiwa, Aurelius L. Tendean asal Remboken, Minahasa dan ibu, Maria Elizabeth Cornet asal Leiden, Belanda yang berdarah Perancis. Ia lahir di Batavia (Jakarta), 21 Februari 1993. Keluarga ibunya sebelumnya sudah berimigrasi ke Hindia Belanda (Indonesia). Ia anak kedua dari tiga bersaudara, yaitu dengan seorang kakak, Mitzi dan adik, Roos. Garis darah dari Minahasa dengan perempuan Eropa membuat sosok pemuda Pierre menonjol di lingkungannya.

    Ia lahir di Rumah Sakit CBZ Batavia (sekarang RS Tjipto Mangunkusumo Jakarta) karena ayahnya menjadi dokter di situ. Sesudah itu ayahnya dimutasi ke beberapa daerah. Keluarganya juga ikut serta, Mereka pindah ke Tasikmalaya, Jawa Barat lalu ke Cisarua dekat Bogor. Pada saat Perang Dunia II, mereka pindah ke Magelang di Jawa Tengah. Sekira tahun 1951, mereka pindah lagi ke Semarang. Di kota ini Pierre menempuh pendidikan Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar (SD)), Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Bagian B Semarang (sekarang SMA Negeri 1 Semarang). Pierre selalu menonjol dalam bidang organisasi dan olahraga sekolah. Hampir selalu ia memimpin rapat-rapat sekolah tau menjadi ketua panitia. Ia menguasai olahraga: tenis, voli, bola basket, dan menunggang kuda. Khusus permainan voli dan basket, ia selalu menjadi bintang lapangan. Dalam bidang pendidikan, Pierre dikenal sebagai siswa yang rajin. Nilai ujian akhir amat baik terutama dalam mata pelajaran ilmu pasti (IPA) dan bahasa. Nilai 9 untuk aljabar dan ilmu ukur (matematika), nilai 9 untuk Bahasa Inggris dan nilai 9 untuk Bahasa Jerman.

    Usai tamat, SMA, orang tuanya menginginkan agar ia memasuki universitas, terutama di Fakultas Kedokteran. Pierre bersikeras untuk masuk dalam dunia militer yang mengedepankan sikap disiplin. Ia menempuh pendidikan militer di Akademi Militer Jurusan Teknik Angkatan Darat (Akmil Jurtek atau Atekad) di Bandung, masuk sebagai Angkatan VI antara tahun 1958-1962. Ia terpilih menjadi Komandan Batalyon Taruna Remaja. Selain itu menjadi Wakil Ketua Senat Korps Taruna. Semasa pendidikan, dengan pangkat Kopral Taruna, ikut dalam Operasi Sapta Marga menghadapi PRRI di Sumatera Utara.

    Bulan Desember 1962, ia lulus dari Akmil Jurtek. Sesudah itu ia mulai berdinas dalam militer, menjadi Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur (Zipur) 2/Kodam II/Bukit Barisan di Medan, Sumatera Utara, berpangkat Letnan Dua (Letda). Ia sering menjadi penerjemah atasannya dengan tamu asing. Sesudah itu tahun 1963, mengikuti Pendidikan Intelijen. Tahun itu juga diperbantukan pada Dinas Pelaksana Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD), lalu bertugas menyusup ke Malaysia dalam rangka Operasi Dwikora (berkonfrontasi dengan Malaysia).

    Riwayat penugasan militer Pierre ini rupanya membuat ibunya, Maria E. Cornet, menjadi cemas akan keselamatan dirinya. Namun karena tekad dan semangatnya, akhirnya pada tanggal 15 April 1965, Pierre akhirnya resmi menjadi Ajudan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) Jenderal TNI A. H. Nasution dengan pangkat Letnan Satu (Lettu). Pierre selalu membantu Jenderal Nasution berdinas. Ia selalu menjadi pusat perhatian di sekelilingnya, disamping Nasution. Ada kalimat yang beredar di kalangan mahasiswi, "Kuping kita bagi Pak Nas, tetapi mata kita adalah untuk ajudannya".

    Pada malam hari antara tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, terjadi sebuah peristiwa berdarah yang mengubah sejarah Indonesia. Malam itu, ada segerombolan tentara dan milisi yang menculik enam Jenderal TNI Angkatan Darat dan perwira penting lainnya. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September (Gestapu atau G30S) yang berada di bawah pengaruh Partai Komunis Indonesia. Dari korban tersebut, setidaknya ada tiga korban dari kalangan Kristen, yaitu Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Brigadir Jenderal TNI Donald I. Pandjaitan, Ajudan Menteri Koordinator Pertahanan dan Kemanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab), Jenderal TNI A. H. Nasution, Letnan Satu CZI Pierre Tendean dan Ajudan Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena, Brigadir Polisi Karel Sadsuitubun. Pukul empat pagi, gerombolan tersebut tiba di rumah dinas Kasab di sampingnya. Ia disergap lalu ditanyai. Ia menjawab "Saya ajudan Jenderal Nasution!". Rupanya, kata "ajudan" tak terlalu terdengar sehingga para penculik mengira bahwa Pierre ialah Jenderal Nasution. Sekilas, memang perawakan dan wajah Pierre dan Nasution memang mirip. Ketika ditanya kepada para penjaga rumah dinas Kasab apakah betul yang mereka tangkap itu Nasution, mereka diam saja. Pierre kemudian dibawa ke markas gerombolan di daerah Lubang Buaya. Menurut kesaksian, Pierre hanya diam dan menyembunyikan identitasnya. Kelihatannya ia sudah berniat mengorbankan dirinya. Di situ, Pierre dan keenam Jenderal dieksekusi mati dan jenazah mereka dikubur ke dalam satu lubang sumur tua.

    Jenazah mereka baru ditemukan dan diangkat oleh pasukan Angkatan Darat dan Korps Komando (KKO) Angkatan Laut pada 4 Oktober 1965, lalu dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta saat Hari Jadi Angkatan) Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) (sekarang TNI) ke-10 pada 5 Oktober 1965.

    Pelajaran berharga yang kita petik dari akhir hidup Pierre adalah bahwa ia berani mengorbankan dirinya demi menyelamatkan orang lain. Umurnya yang masih amat muda, 26 tahun, memperlihatkan bahwa pengorbanan ini merujuk mentalnya yang terlatih serta jiwa patriotisme yang tebal, serta mengikat dirinya kepada sumpah prajurit dan moral Kristiani. Sikap yang meneladani tokoh Alkitab seperti Yohanes Pembaptis, Stefanus dan Rasul Yakobus, dan lain-lain. Mari kita teladani sikap dan moral Kristiani dari Tokoh Nasional ini, dan biarlah lingkungan sekitar kita melihat roh Kristen dari pola perilaku hidup kita sehari-hari

Sumber: OBOR Edisi November 2020, Hal. 02-04, Komisi Pelayanan Pemuda Sinode GMIM

Comments

Popular posts from this blog

Tuhan Menopang Yosia

John Knox dan Reformasi Skotlandia